POHO| Jamak kita temui bahkan kita lakukan, ketika kita membeli poho bahan ataupun yang sudah gacor acap kita mengambil prioritas antara menjinakkan dulu atau menjadikannya gacor. Atau mengambil prioritas keduanya secara berbarengan.
Biasanya yang kita harapkan tercapai keduanya. Namun, pertanyaannya bagaimana bila poho yang kita beli memiliki karakter liar terkesan sulit dikendalikan.
Cara instant kita memakai terapi penjinakan dengan memasukkan poho itu ke dalam sangkar penjinakan yang sizenya relatif kecil dengan kerapatan jeruji yang hanya beberapa milimeter. Ditambah pula dengan ketinggian sangkar yang relatif pendek, dimana intinya bagaimana sangkar tersebut dapat meminimalisir pergerakan poho dan mengurangi resiko benturan/gesekan fisik yang bisa menyebabkan cacat dan kerusakan bulu.
Cara kedua, tetap menggunakan
sangkar berurukan normal bahkan tergolong besar dengan satu ataupun dua tangkringan.
Pertanyaannya, mana diantara keduanya yang lebih efektif ? Jawabannya sama-sama
efektif.
Bertolak dari pengalamanku selama ini dimana ada poho yang karakternya mudah jinak, tapi ada pula yang sulit dijinakkan maka opsi kedua dengan menggunakan sangkar berukuran normal bahkan besar seukuran sangkar murai seringkali saya pakai.
Opsi ini seakan melawan arus teori umumnya yang dipakai kicaumania. Emang begitu, kan burung saya sendiri, sesuka gue dong mau begini mau begitu. Mau dibilang gak waton atawa “out of the box” biarin aja hehehe….
Opsi yang saya gunakan didasari pada karakter burung di alam yang sukanya bebas dan nyaman…. Dari sini sebenarnya yang kita lakukan adalah merekayasa kebiasaan tingkah laku (behavior enginering) dari kebiasaan bebas di alam di adaptasikan ke dalam sangkar.
Langkah kedua untuk menggapai dua prioritas di atas adalah dengan terapi memandikan poho. Terapi ini pun lagi-lagi dihadapkan pada beberapa cara. Apa dengan cara disemprot bersama sangkarnya atau poho dimasukkan ke dalam sangkar keramba baru di semprot, ataukah poho dimasukkan sangkar keramba dan dibiarkan entah mau mandi nyemplung atau tidak.
Saya pribadi biasa ngaplikasi yang terakhir dengan memasukkan poho ke keramba tanpa menyemprot dengan membiarkannya mau nyemplung ataupun tidak. Karena naluri mahluk hidup, kalau ia mau mandi meski bukan di dalam keramba bahkan dengan cepuk air minumpun bila ia mau mandi pasti fasilitas yang ada ia manfaatkan.
Dengan lain kata, adaptasikan poho dengan rekayasa behavior dan perawatan yang menjadikannya merasa nyaman (confortable) dengan lingkunganya tanpa ada paksaan/stressing. Bila ini sudah goal, biasanya ia akan mudah berkicau.
Tahap selanjutnya melatih dia dengan berbagai lingkungan baru semisal diadaptasikan dengan menempatkannya pada sangkar yang lebih kecil dan pendek. Tujuannya ia semakin all round, bisa beradaptasi dengan semua lingkungan, baik di posisi gantangan/atas, di lantai (bawah) juga dengan tempat keramaian.
Pengalaman DaBo Genghis Khan yang saya pelihara, sebelumnya berada di sangkar kotak dengan 2 tangkringan, lantas jadi 1 tangkringan, dan sekarang saya adaptasikan pada sangkar bulat merk Exo berukuran lebih minim…
Kenapa sih kok diadaptasikan ke dalam sangkar dengan size minimalis ? Sebagaimana tujuan awal penjinakan dengan sangkar kecil penjinakan, maka poho yang sudah mapan behaviornya dengan dimasukkan pada sangkar minimalis bertujuan untuk meminimalisir pembuangan energi akibat pola tingkah yang over sehingga harapannya energinya bisa tereksplorasi dalam bentuk kicauan dan keindahan goyangannya.
Sekali lagi, ini hanya berupa share pengalaman atawa gedabruz doank dulur seperti judulnya… Hahaha…..
Nantikan, gedabruz part 4 yang akan mengurai fenomena dehidrasi pada poho, khususnya dengan poho bahan new comer dari negeri asalnya. Insha Allah. [Pakne Bella]
Discussion about this post